BANK INDONESIA

BANK INDONESIA

2011

Fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan berpindah ke OJK

DPR mengesahkan UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengalihkan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK.

Undang-Undang ini membagi ruang lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial lembaga keuangan sebagai kewenangan OJK, sementara pengaturan dan pengawasan makroprudensial menjadi tanggung jawab BI dengan sasaran stabilitas sistem keuangan.

2009

Penegasan Bank Indonesia sebagai lender of the last resort

DPR mengesahkan UU No.6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU No.23/1999 Tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang.

UU ini memperjelas dan mempertegas peran BI dalam fungsinya sebagai lender of the last resort.

2004

Pengesahan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang Independen

DPR mengesahkan UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

UU ini berisi tentang penegasan terhadap kedudukan bank sentral yang independen, penyempurnaan pengaturan tugas dan wewenang, dan penataan fungsi pengawasan BI.

1999

UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Dengan adanya UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia ditetapkan sebagai Bank Sentral yang bersifat independen.
UU ini menetapkan tujuan tunggal BI yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, dan menghapuskan tujuan sebagai agen pembangunan.
Sejak periode ini, BI menerapkan rezim kebijakan moneter dengan inflation targeting framework.

Dalam framework ITF, kredibilitas BI dinilai dari kemampuannya mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah.

1997

Krisis Moneter Asia

Krisis moneter yang terjadi di Asia mendorong BI mengambil langkah–langkah kebijakan penanggulangan krisis, seperti penerapan kebijakan floating exchange rate untuk nilai tukar, penutupan bank-bank bermasalah, dan restrukturisasi bank-bank yang tidak sehat.

1988

Deregulasi perbankan

BI mengeluarkan paket kebijakan deregulasi perbankan, dengan nama Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 yang lebih dikenal sebagai Pakto 88 atau Pakto 27.

Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong tumbuhnya industri perbankan dengan mempermudah perizinan dalam pendirian bank baru.

1968

Bank Indonesia sebagai agen pembangunan dan pemegang kas negara

Pada tahun 1968, Pemerintah RI mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Undang-undang ini mengembalikan tugas BI sebagai Bank Sentral Republik Indonesia dan menghentikan status BI sebagai BNI Unit I.
Salah satu pasal di dalam undang-undang ini juga mengatur bahwa BI tidak lagi memiliki fungsi menyalurkan kredit komersial, namun berperan sebagai agen pembangunan dan pemegang kas negara.

Sementara itu, melalui UU No.21 dan 22 Tahun 1968, bank-bank lainnya yang tergabung dalam Bank Tunggal berubah kembali menjadi bank pemerintah yang berdiri sendiri.

1953

Berdirinya Bank Indonesia

Berdirinya Bank Indonesia
Pada tahun 1951, muncul desakan kuat untuk mendirikan bank sentral sebagai wujud kedaulatan ekonomi Republik Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia Nasionalisasi DJB. Proses nasionalisasi dilakukan melalui pembelian saham DJB oleh Pemerintah RI, dengan besaran mencapai 97%.
Pemerintah RI pada tanggal 1 Juli 1953 menerbitkan UU No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia, yang menggantikan DJB Wet Tahun 1922. Sejak 1 Juli 1953 Bank Indonesia secara resmi berdiri sebagai Bank Sentral Republik Indonesia.
UU No.11 Tahun 1953 merupakan ketentuan pertama yang mengatur BI sebagai bank sentral. Tugas BI tidak hanya sebagai bank sirkulasi, melainkan sebagai bank komersial melalui pemberian kredit. Pada masa ini, terdapat Dewan Moneter (DM) yang bertugas menetapkan kebijakan moneter. DM diketuai Menteri Keuangan dengan anggota Gubernur BI dan Menteri Perdagangan. Selanjutnya, BI bertugas menyelenggarakan kebijakan moneter yang telah ditetapkan oleh DM.
Masa Ekonomi Terpimpin
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep Ekonomi Terpimpin. Pada masa ini, Gubernur BI ditetapkan sebagai anggota kabinet dengan sebutan Menteri Urusan Bank Sentral dan Dewan Moneter tidak berfungsi lagi. Dalam bidang perbankan, terdapat doktrin “Bank Berdjoang” berupa penyatuan seluruh bank-bank negara menjadi Bank tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI) yang pendiriannya lewat Perpres No.17 Tahun 1965. Dalam masa implementasi “Bank Berdjoang”, Bank Indonesia diubah menjadi BNI Unit I, sedangkan bank-bank milik pemerintah lainnya dibagi menjadi BNI Unit II-V.

1949

Republik Indonesia Serikat (RIS)

Pada tahun 1949, berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan salah satu butir kesepakatan penting adalah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda. Kedudukan RIS berada di bawah Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia menjadi bagian dari RIS.

Selain itu, KMB juga menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi Republik Indonesia Serikat.

Setelah Republik Indonesia memutuskan untuk keluar dari RIS, pada masa peralihan kembali menjadi NKRI, DJB tetap menjadi bank sirkulasi dengan kepemilikan saham oleh Belanda.

1945

Dua Wilayah di Indonesia

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Pada masa ini, NICA mendirikan kembali DJB untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA. Hal ini bertujuan untuk mengacaukan ekonomi Indonesia.

Sesuai mandat yang tertulis dalam penjelasan UUD 45 pasal 23 yaitu “Berhubung dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas ditetapkan dengan Undang-undang”, maka Pemerintah Republik Indonesia membentuk bank sirkulasi yaitu Bank Negara Indonesia (BNI).

Sebagai upaya menegakkan kedaulatan ekonomi, BNI menerbitkan uang dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI).

Keberadaan BNI milik RI dan DJB milik NICA membuat terjadinya dualisme bank sirkulasi di Indonesia dan munculnya peperangan mata uang (currency war). Pada masa ini, uang DJB yang dikenal dengan sebutan “uang merah” dan ORI dikenal sebagai “uang putih”.

1942

Masa Hindia Belanda

Pada tahun 1828, Pemerintah Kerajaan Belanda memberikan octrooi atau hak-hak istimewa kepada De Javasche Bank (DJB) untuk menjadi bank sirkulasi. Pada periode ini, DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda.

Octrooi secara periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali. Hingga tahun 1922, telah dilakukan tujuh kali perpanjangan Octrooi.

Pada tahun 1922, Pemerintah Belanda menerbitkan undang-undang De Javasche Bank Wet

1942

Masa Pendudukan Jepang

Pada masa pemerintahan Militer Jepang, DJB dilikuidasi. Tugas DJB sebagai bank sirkulasi di Indonesia kemudian digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG).

1870

Liberalisasi Ekonomi Hindia Belanda

Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) yang memperbolehkan pihak swasta menanamkan modalnya pada sektor bisnis di Hindia Belanda. Hal ini mendorong kebangkitan sektor perkebunan di Hindia Belanda sehingga menjadi produsen penting komoditas-komoditas perdagangan internasional di dunia.

Akibat eksploitasi ekonomi besar-besaran oleh Belanda selama penerapan Sistem Tanam Paksa, muncul gerakan yang disebut sebagai politik balas budi atau yang lebih dikenal dengan Politik Etis pada tahun 1901.

Pada bidang perbankan, pada awal abad ke-20 banyak bermunculan bank-bank perkreditan yang bertujuan untuk mendorong perkembangan perekonomian rakyat.

Rentang tahun 1870-1942, De Javasche Bank membuka 15 kantor cabang di kota-kota yang dianggap strategis di Hindia Belanda, yaitu: Yogyakarta (1879), Pontianak (1906), Bengkalis (1907), Medan (1907), Banjarmasin (1907), Tanjungbalai (1908), Tanjungpura (1908), Bandung (1909), Palembang (1909), Manado (1910), Malang (1916), Kutaraja (1918), Kediri (1923), Pematang Siantar (1923), Madiun (1928).

1830

Ekspansi Ekonomi Kolonial Belanda

Untuk mengisi kas negara karena terkuras oleh Perang Jawa, Belanda memberlakukan tanam paksa (cultuurstelsel) di Hindia Belanda.

Penyimpangan implementasi Sistem Tanam Paksa dituangkan dalam novel Max Havelaar karya Douwes Dekker yang mengundang polemik kalangan masyarakat dan politikus di negeri Belanda.

De Javasche Bank digunakan pemerintah kolonial untuk mendukung kebijakan finansial dari Sistem Tanam Paksa.

Rentang tahun 1829-1870, DJB melakukan ekspansi bisnis dengan membuka kantor cabang di beberapa kota di Hindia Belanda, termasuk di luar Jawa: Semarang (1829), Surabaya (1829), Padang (1864), Makassar (1864), Cirebon (1866), Solo (1867), dan Pasuruan (1867).

1828

Pendirian De Javasche Bank

Pendirian De Javasche Bank yang nantinya menjadi cikal bakal Bank Indonesia.

Pada tahun 1828, pemerintah Kerajaan Belanda memberikan octrooi atau hak-hak istimewa kepada De Javasche Bank (DJB) untuk bertindak sebagai bank sirkulasi. Sebagai bank sirkulasi, DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda.

Octrooi secara periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali. Secara keseluruhan, DJB telah melalukan tujuh kali masa perpanjangan octrooi.

De Javasche Bank merupakan bank sirkulasi pertama di Asia.

1818

Bank Courant en Bank Van Leening

Penutupan Bank van Courant en Bank van Leening karena krisis keuangan.

1746

Bank Courant en Bank Van Leening

Bank pertama di Nusantara yang berdiri untuk menunjang kegiatan perdagangan pada tahun 1746 adalah Bank van Courant. Bank ini memiliki tugas untuk memberikan pinjaman dengan jaminan emas, perak, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya.

Pada tahun 1752, Bank van Courant disempurnakan menjadi De Bank van Courant en Bank van Leening. Bank ini bertugas memberikan pinjaman kepada pegawai VOC agar mereka dapat menempatkan dan memutarkan uang mereka pada lembaga ini. Hal ini dilakukan dengan iming-iming imbalan bunga.

1603

Tugas Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)

VOC bertujuan untuk membuka perdagangan di Nusantara sekaligus menghancurkan dominasi Portugis (namun gagal).

1602

Maskapai Dagang

Pembentukan maskapai dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie yang dikenal dengan nama VOC (Persekutuan Dagang Hindia Timur).

Mata uang Real Spanyol masuk ke Nusantara.

1600

Abad ke-16

Kedatangan bangsa Eropa ke Asia Tenggara dengan misi mencari rempah-rempah.
Di Nusantara telah berdiri kerajaan-kerajaan yang telah memiliki mata uangnya sendiri. Selain itu, beredar pula mata uang asing seperti Picis dari Tiongkok yang mendominasi peredaran uang.